------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kang ingaran urip mono mung
jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine….
Jeneng wadhah yen tanpa isi,
Olah dene arane wadhah,
Tanpa Tanya tan ana pigunane.
Semono uga isi tanpa wadhah,
Yekti barang mokal…….
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah la isi,
Kang utama karo-karone”
pepindhane wadhah lan isine….
Jeneng wadhah yen tanpa isi,
Olah dene arane wadhah,
Tanpa Tanya tan ana pigunane.
Semono uga isi tanpa wadhah,
Yekti barang mokal…….
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah la isi,
Kang utama karo-karone”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang disebut hidup (sejati) tak lain
adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya,
ibarat bejana dan isinya……
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana,
Tidak semestinya dan tidak berguna,
Demikian juga isi tanpa bejana,
Sungguh hal yang mustahil….
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi,
Sebaiknyalah kedua-duanya.
ibarat bejana dan isinya……
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana,
Tidak semestinya dan tidak berguna,
Demikian juga isi tanpa bejana,
Sungguh hal yang mustahil….
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi,
Sebaiknyalah kedua-duanya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Arsitektur Tradisional……???
Perkataan
‘tradisi’, sebenarnya berasal dari bahasa latin “trado – transdo, yang berarti
‘sampaikanlah kepada yang lain. Kalau kita menengok pada arsitektur
tradisional, kekaguman kita sampai sekarang tidak pernah habisnya. Kepiawaian
arsitektur tradisional menghadirkan ruang yang penuh makna dengan bentukannya
yang jujur, selalu menarik untuk dipahami.
Bentuk
bangunan tradisional merefleksikan bagaimana caranya membangun yang dapat
dipelajari secara visual oleh setiap orang. Arsitekur tradisional mampu
menempatkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan. Belajar
dari rumah-rumah tradisional yang mampu memberikan pelajaran-pelajaran ruang,
bentuk dan struktur yang menyatu dan jujur. Rumah-rumah rakyat di pedalaman,
seperti rumah Honai di Irian Jaya, Rumah Perahu di Kalimantan seringkali kita
jumpai sebagai karya anonim yang dibangun oleh masyarakat setempat dengan
kemampuan akan konstruksi dan bahan yang dipelajari secara turun temurun dan
didapat dari lokasi setempat.
Hasil
karya ‘rakyat’ ini merefleksikan sebuah masyarakat yang akrab dengan alamnya,
kepercayaannya, dan norma-normanya dengan bijaksana. Bentuk, proporsi, dan
dekorasinya merupakan simbol-simbol yang berarti. Mereka tidak meletakkan
tujuan untuk suatu keindahan tetapi menciptakan ruang dengan prinsip-prinsip
kehidupan menghadirkan bentuk struktur yang telah teruji oleh alam.
Apa hubungan Syahrini dengan
Arsitektur tradisional…???
Penyanyi wanita yang memabukkan
ribuan penggemarnya tidak hanya dengan lagunya yang (justru) biasa saja, tapi
banyak berita tentang dirinya yang menampilkan jati diri apa adanya tanpa
ditutupi. Syahrini adalah Syahrini, bukan wanita desa yang ngoyo menjadi
diva; dia tetap gadis Sukabumi yang telah menjadi bagian dari industri hiburan
kita dengan tetap mempertahankan latar belakangnya yang religius, ramah, pemalu
bahkan terkadang sedikit ‘ndeso’ dengan logat sundanya yang mengiris
hati banyak lelaki.
Bukankah justru itu yang digilai
penggemarnya? Ketika dia menjawab pertanyaan wartawan dengan kalimat takzim
mengucap syukur dan bahasa Indonesia halus yang agak ajaib tata bahasanya,
seketika itu juga semua orang mengulang-ulangnya.
Di sinilah kehebatan Syahrini.
Dengan nilai-nilai yang dipercayanya, dia menjadi dirinya sendiri. Dia
menarik penggemarnya dengan berbagai cara yang kadang aneh tapi terlihat apa
adanya. Digemari bukan karena dangdut, pop, atau sinetron yang menguras air
mata. Syahrini disukai karena dia adalah Syahrini.
Banyak
bangunan yang secara teori dan keilimuan benar, tapi terasa ada yang kurang
saat kita berada di dalamnya. Bangunan yang tidak berjiwa, hilang di tengah
gegap gempita jaman, tidak beridentitas dan dengan mudah terlupakan. ‘Sing
bener durung mesti pener”
Publik terbiasa menilai sebuah karya
arsitektur sebagai tampilan 3D (atau bahkan 2D) semata. hanya indah, keren,
dramatis dan indah memikat hati. tapi jarang yang menggunakan emosi dan
pengalaman untuk menilainya. jarang yang merasakan arsitektur. Hampir tidak
pernah ada yang peduli bagaimana sebuah bangunan ‘bekerja’. Padahal sebuah
karya arsitektur yang baik tidak hanya harus seksi, tapi dia juga harus pintar
dan berjiwa. Seperti halnya shahrini...........................
[ Mangunwijaya ]
[ Ary indra ]
AbieZM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar